Keterbukaan
Informasi Menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan
Informasi Publik
Informasi
merupakan kebutuhan pokok setiap orang, baik dalam rangka mengembangkan
kualitas pribadi maupun dalam rangka menjalani kehidupan sosialnya. Setiap
orang dalam kualitas dan latar belakang apapun membutuhkan informasi sesuai
kadarnya. Pada masyarakat tradisional sekalipun, kebutuhan atas informasi tetap
ada dan harus dipenuhi. Informasi itu bisa diperoleh lewat tatap muka dengan
orang lain, bisa juga melalui berbagai macam sarana yang tersedia.
Pada masyarakat modern, kebutuhan atas
informasi semakin banyak dan semakin urgen. Informasi menjadi kebutuhan dasar
dalam pengambilan keputusan-keputusan personal dan sosial. Perkembangan
teknologi komunikasi turut mendorong perkembangan informasi. Setiap detik,
informasi terus menyebar dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat akibat
perkembangan teknologi komunikasi. Setiap hari kita disuguhi informasi dari
belahan dunia yang berbeda nyaris pada saat bersamaan. Batas-batas antar negara
seolah menjadi hilang (borderless world)
akibat pesatnya perkembangan informasi. Tidak ada satu pun negara yang bisa
secara mutlak menghambat pesatnya laju arus informasi.
Informasi
hadir menyapa kita setiap saat, baik melalui media massa cetak dan elektronik.
Informasi menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia yang mereka butuhkan
sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga negara. Tetapi, pemahaman
tentang hakekat informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia masih belum
merata. Masih banyak anggota masyarakat yang belum menyadari tentang hak-hak
mereka dalam memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan
kenegaraan. Masih banyak pula anggota masyarakat yang tidak menyadari hak
mereka atas informasi yang tidak muncul di media komunikasi dan pengumuman
resmi pemerintah.
Di
negara-negara demokratis, pengakuan terhadap hak atas informasi sekaligus
merupakan sarana untuk memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintahan yang demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang
informasi yang dibutuhkan publik. Itu sebabnya, di negara demokratis
konstitusional, keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk
mengoptimalkan penyelenggaraan negara secara umum, mengoptimalkan peran dan
kinerja badan-badan publik, serta segala sesuatu yang berakibat pada
kepentingan publik.
Pemerintahan
yang terbuka berisi badan-badan publik yang terbuka kepada masyarakat dalam
rangka pelayanan. Dengan membuka akses publik terhadap informasi diharapkan
semua badan publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada
pelayanan rakyat dengan sebaik-baiknya. Keterbukaan informasi bukan hanya
menguntungkan masyarakat, tetapi juga bagi penyelenggara pemerintahan, baik di
tingkat eksekutif maupun legislatif, dan yudikatif. Jika informasi publik
tersedia dengan cukup, maka pimpinan lembaga penyelenggara pemerintahan dalam
arti luas bisa memanfaatkan pengawasaan dari masyarakat untuk meningkatkan
kinerja dan gerak organisasi.
Negara
di bentuk oleh masyarakat yang karenanya masyarakat merupakan pemilik negara,
hal ini sewajarnya negara melayani masyarakat. Sebagai abdi masyarakat, apa
yang dilakukan negara harus sepengetahuan masyarakat. Agar masyarakat
mengetahui aktifitas negara, maka informasi atau keterbukaan informasi
merupakan landasan hak dasar yang tak bisa terbantahkan yang harus disiapkan
oleh lembaga negara, yaitu dengan menyediakan informasi yang seluas-luasnya
kepada masyarakat, dengan hal tersebut berarti negara menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, karena hak dasar atau yang sering kita sebut hak asasi
manusia dimana untuk mendapatkan informasi yang di inginkan dapat terpenuhi.
Beranjak
dari pengertian diatas apa yang akan dilakukan oleh pemerintah maka akan
diketahui masyarakat, baik atau buruknya pemerintah mengelola negara akan
segera direspon oleh masyarakat. Dengan adanya keterbukaan informasi, dimana
seluruh proses pemerintahan akan berjalan secara transparan dan dapat diikuti
oleh masyarakat, mau tidak mau maka pemerintah akan menjalankan alur
pemerintahannya dengan berjalan pada semangat keterbukaan informasi (baca : Good Governance). Dengan hal demikian
akan tercipta pemerintahan yang baik, dimana good governance harus mampu
menciptakan pemerintahan yang solid, yang bertanggung jawab, mempunyai semangat
tinggi menjunjung demokrasi, efektif dan efisien dalam bekerja, berdisiplin
mengenai anggaran, mencegah terjadinya korupsi dan penyalahgunaan wewenang
serta mampu menjadi fasilitator yang baik bagi masyarakatnya. Apabila hal ini
dapat dilakukan dngan baik dan benar oleh pemerintah maka respon dari
masyarakat akan menjadi positif dan ini menjadi sinyal yang positif bagi
pemerintah dimana masyarakat akan percaya akan kinerja penyelenggara negara yang
mampu meresponsive terhadap tututan masyarakat, dan amanah dalam pelaksanaan
kinerjanya.
Sejalan
dengan apa yang sudah dijelaskan diatas dimana Good governance dapat berjalan atas Pengundangan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik merupakan momentum penting dalam mendorong
keterbukaan informasi di Republik Indonesia. Kurang lebih delapan tahun sebelum
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik diundangkan tanggal 30 april 2008. Bagi
masyarakat, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik merupakan bentuk
pengakuan hak masyarakat atas informasi dan bagaimana hak tersebut harus
dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Sedangkan bagi pemerintah maupun badan
publik lainnya, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik merupakan pedoman
hukum untuk memenuhi dan melindungi hak atas informasi masyarakat. Pedoman
hukum tersebut untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak masyarakat atas
informasi sekaligus jaminan agar keterbukaan tidak merugikan kepentingan setiap
orang dan kepentingan negara yang dilindungi oleh hukum.
Akses
terhadap informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dan
dilindungi konstitusi. Pada perubahan kedua UUD 1945 Pasal 28 F dinyatakan
bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Jaminan
Hak Asasi dalam undang-undang dasar merupakan mandat kepada pemerintah untuk
menjabarkannya lebih lanjut dalam berbagai perundang-undangan agar
pelaksanaannya menjadi operatif.
Majelis Permusyawaratan Rakyat mengangkat
norma Pasal 28 F UUD 1945 dari rumusan Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Rumusan tersebut dimuat dalam dua ayat, yaitu;
1) Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan untuk memperoleh informasi yang diperlukan
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2) Setiap
orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Berikut
adalah gambaran di mana masyarakat atau setiap orang berhak akan untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan baik
untuk lingkungan sosialnya, maka masyarakat dalam hal ini sebagai pribadi
sosial berhak mendapatkan keterbukaan informasi dari lembaga penyelenggara
pemerintahan sebagai aspek hak asasi.
Sebagai
undang-undang yang tidak hanya sekedar mengatur hak atas informasi, melainkan
juga mengatur tentang hak akses terhadap informasi tersebut, UU KIP mengandung
beberapa pokok pikiran berikut (Anotasi Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (EdisiPertama). Jakarta:
Komisi Informasi Pusat dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL),2009.:
1.
Setiap
Badan Publik wajib menjamin keterbukaan informasi publik
Salah satu permasalahan
mendasar penyelenggaraan pemerintahan masa lalu adalah rendahnya tingkat keterbukaan,
dan partisipasi, serta akuntanbilitas. Pada era ini jaminan hukum akan
keterbukaan informasi diharapkan dapat mempertegas kewajiban badan publik dalam
pemenuhan hak atas informasi sebagai implikasi dari jaminan pengakuan hak
masyarakat terhadap informasi.
2.
Setiap
Informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik
Konsep negara demokrasi
memandang bahwa penyelenggaraan pemerintahan merupakan amanat rakyat. Oleh
karena itu, segala informasi yang dihasilkan dan mengenai penyelenggaraan pemerintah
tersebut merupakan milik rakyat sebagai pemberi mandat. Dengan demikian sudah
selayaknya jika informasi tentang kegiatan yang didanai dengan dana publik
menjadi informasi milik publik pula. Inilah yang menjadi dasar bagi asas bahwa
informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses. Dengan demikian prinsip
bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses merupakan prinsip
utama. Sedangkan kerahasiaan/informasi yang dirahasaikan adalah merupakan
pembatasan atau pengecualian dari prinsip tersebut yang harus dilakukan secara
ketat dan terbatas.
3. Informasi publik yang dikecualikan
bersifat ketat, terbatas, dan tidak mutlak / tidak permanen.
3.Meskipun
pada dasarnya informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses, namun dalam
praktek tidak semua informasi dapat dibuka. Ada informasi tertentu yang apabila
dibuka dapat menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik maupun
kepentingan yang sah dilindungi oleh UU. Namun prinsipnya, pengecualian
informasi publik tersebut haruslah untuk melindungi kepentingan publik itu
sendiri. Untuk itu, UU ini memperkenalkan uji konsekuensi bahaya (consequential harm test) dan uji
kepentingan publik (balancing public
interest test). Uji konsekuensi bahaya mewajibkan agar badan publik dalam
menetapkan informasi yang dikecualikan mendasarkan pada pertimbangan bahwa
apabila informasi tersebut dibuka, maka akan menimbulkan kerugian atau bahaya
bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang dilindungi oleh hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 19. Sedangkan uji
kepentingan publik mewajibkan agar badan publik membuka informasi yang
dikecualikan jika kepentingan publik yang lebih besar menghendaki atau
sebaliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4).
4. Setiap informasi publik harus dapat
diperoleh dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
4.Badan
publik harus menjamin akses setiap orang terhadap informasi publik sedemikian
rupa secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan dengan cara sederhana.
Penjabaran dari prinsip ini kemudian diatur lebih lanjut pada kewajiban badan
publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi serta pengembangan
sistem penyediaan layanan informasi sesuai dengan asas tersebut (lihat Pasal 13
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik).
5.
Informasi
publik bersifat proaktif
Prinsip bahwa informasi
bersifat proaktif menunjukkan bahwa badan publiklah yang seharusnya secara
proaktif menyampaikan informasi, khususnya mengenai informasi dasar yang
dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik mengatur tentang informasi aktif dimana informasi publik tertentu harus
disampaikan kepada publik tanpa menunggu adanya permintaan. Informasi seperti
ini diklasifikasikan pada Pasal 9 mengenai informasi dasar yang wajib diumumkan
secara berkala, misalnya informasi tentang kegiatan badan publik dan Pasal 10
mengenai informasi yang harus disampaikan serta-merta tanpa adanya penundaan
karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum, misalnya
informasi tentang bencana. Sedangkan Pasal 11 mengatur mengenai informasi yang
wajib disediakan apabila ada permintaan, misalnya dokumen pendukung pengambilan
kebijakan dan perjanjian badan publik dengan pihak ketiga.
6. Informasi publik harus bersifat
utuh, akurat, dan dapat dipercaya.
6.Melekat
dalam hak atas informasi tentunya adalah informasi yang utuh, akurat dan dapat
dipercaya (reliable). Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik menerjemahkan prinsip ini ke dalam ketentuan
tentang:
a) Kewajiban
membuat sistem pengelolaan informasi dan dokumentasi (Pasa13).
b) Kewajiban
membuat sistem layanan informasi dan mekanisme memperoleh informasi (Pasal 13,
Pasal 21, dan Pasal 22)
c) Mekanisme
keberatan dan penyelesaian sengketa baik ditingkat badan publik, komisi
informasi maupun pengadilan. Mekanisme keberatan ditingkat badan publik diatur
pada Pasal 35 dan Pasal 36. Penyelesaian sengketa di tingkat komisi informasi
diatur pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 46. Sedangkan penyelesaian sengketa
melalui gugatan ke pengadilan diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 50.
d) Ancaman
sanksi bagi penghancuran informasi maupun pembuatan informasi yang tidak benar (untrue/false information) atau
menyesatkan (misleading). Ketentuan
ini dapat ditemukan dalam Pasal 53 dan Pasal 55.
7.
Penyelesaian
sengketa secara cepat, murah, kompeten, dan independen
Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik membagi penyelesaian sengketa dalam tingkat badan
publik melalui pengajuan keberatan, di tingkat komisi informasi melalui mediasi
dan ajudikasi, serta di tingkat pengadilan melalui pengadilan negeri dan
pengadilan tata usaha negara. Mahkamah Agung RI tetap dipilih oleh perumus Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik sebagai lembaga terakhir bagi seluruh penyelesaian
sengekta informasi tersebut. Pengaturan tentang pengajuan keberatan, jangka
waktu, dan pemberian tanggapan atas keberatan oleh badan publik diatur dalam
Pasal 35 dan Pasal 36. Hukum acara penyelesaian sengketa di tingkat komisi
informasi diatur pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 46. Sedangkan penyelesaian
sengketa melalui gugatan ke pengadilan dan kasasi ke Mahlamah Agung diatur
dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 50.
8.
Ancaman
pidana bagi penghambat informasi
Sanksi pidana merupakan
salah satu perangkat untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelanggar ketentuan UU KIP. Namun demikian
penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara selektif mengingat efektifitas
suatu aturan tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan ancaman pidana semata
yang berimplikasi pada pengurangan kemerdekaan seseorang. Ancaman sanksi pidana
dalam UU KIP ditekankan kepada penghambat informasi, yaitu: a) mereka yang
secara sengaja menghancurkan informasi (Pasal 53); b) mereka yang secara
sengaja membuat informasi ang tidak benar (Pasal 55); dan c) pejabat publik
yang tidak menjalankan kewajibannya dalam rangka keterbukaan informasi (Pasal
52).
UU KIP juga mengatur
tentang ancaman pidana bagi penyalahgunaan informasi dan pembocoran informasi
rahasia. Terkait dengan pembahasan kedua ketentuan tersebut, pada saat
pembahasan terdapat masukan dari Koalisi untuk Kebebasan Informasi agar
ketentuan tersebut tidak perlu diatur dalam UU KIP karena sudah banyak diatur
dalam ketentuan undang-undang lainnya, misal KUHP, UU Rahasia Dagang, dll.
Untuk itu penerapan ancaman pidana ini harus dilakukakan secara hati-hati oleh
penegak hukum dengan memperhatikan ketentuan pidana yang telah diatur dalam
Undang-undang lain tersebut. Ancaman bagi penyalahgunaan informasi diatur dalam
pasal 51, sedangkan ancaman bagi pembocor informasi rahasia diatur dalam Pasal
54.
KESIMPULAN
Dari
apa yang telah dijabarkan pada penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
bawasannya negara di bentuk oleh masyarakat yang karenanya masyarakat merupakan
pemilik negara, hal ini sewajarnya negara melayani masyarakat. Sebagai abdi
masyarakat, apa yang dilakukan negara harus sepengetahuan masyarakat. Agar
masyarakat mengetahui aktifitas negara, maka informasi atau keterbukaan
informasi merupakan landasan hak dasar yang tak bisa terbantahkan yang harus
disiapkan oleh lembaga negara, yaitu dengan menyediakan informasi yang
seluas-luasnya kepada masyarakat, dengan hal tersebut berarti negara menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat, karena hak dasar atau yang sering kita sebut hak
asasi manusia dimana untuk mendapatkan informasi yang di inginkan dapat
terpenuhi. Maka dengan di Undangkannya Undang-Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, segala hal baik penyelengaraan pemerintahan
negara dapat kita lihat dengan transparan tanpa adanya kerahasiaan dari
aparatur negara, sehingga masyarakat dapat mengkontrol dan merupakan sarana
untuk memantau serta mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan yang
demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang informasi yang dibutuhkan
publik.